Senin, 26 Juli 2010

Hukum Nisfu Sya'ban


Nisfu Sya’ban berarti
pertengahan bulan sya’ban.
Adapun didalam sejarah kaum
muslimin ada yang
berpendapat bahwa pada saat
itu terjadi pemindahan kiblat
kaum muslimin dari baitul
maqdis kearah masjidil haram,
seperti yang diungkapkan Al
Qurthubi didalam menafsirkan
firman Allah swt :
ُلوُقَيَس
ءاَهَفُّسلا َنِم
ِساَّنلا اَم ْمُهَّالَو
نَع ُمِهِتَلْبِق
يِتَّلا ْاوُناَك
اَهْيَلَع لُق ِهّلِّل
ُقِرْشَمْلا
ُبِرْغَمْلاَو يِدْهَي
نَم ءاَشَي ىَلِإ
ٍطاَرِص
ٍميِقَتْسُّم
Artinya : “Orang-orang yang
kurang akalnya diantara
manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan
mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang
dahulu mereka Telah
berkiblat kepadanya?"
Katakanlah: "Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; dia
memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya
ke jalan yang lurus". (QS. Al
Baqoroh : 142)
Al Qurthubi mengatakan
bahwa telah terjadi perbedaan
waktu tentang pemindahan
kiblat setelah kedatangannya
saw ke Madinah. Ada yang
mengatakan bahwa
pemindahan itu terjadi setelah
16 atau 17 bulan, sebagaimana
disebutkan didalam (shahih)
Bukhori. Sedangkan
Daruquthni meriwayatkan dari
al Barro yang
mengatakan,”Kami
melaksanakan shalat bersama
Rasulullah saw setelah
kedatangannya ke Madinah
selama 16 bulan menghadap
Baitul Maqdis, lalu Allah swt
mengetahui keinginan nabi-
Nya, maka turunlah firman-
Nya, ”Sungguh kami (sering)
melihat mukamu menengadah
ke langit. ”. Didalam riwayat
ini disebutkan 16 bulan, tanpa
ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan
dari Yahya bin Said dari Said
bin al Musayyib bahwa
pemindahan itu terjadi dua
bulan sebelum peperangan
badar. Ibrahim bin Ishaq
mengatakan bahwa itu terjadi
di bulan Rajab tahun ke-2 H.
Abu Hatim al Bistiy
mengatakan bahwa kaum
muslimin melaksanakan shalat
menghadap Baitul Maqdis
selama 17 bulan 3 hari.
Kedatangan Rasul saw ke
Madinah adalah pada hari
senin, di malam ke 12 dari
bulan Rabi ’ul Awal. Lalu Allah
swt memerintahkannya untuk
menghadap ke arah ka ’bah
pada hari selasa di
pertengahan bulan sya’ban.
(Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an
jilid I hal 554)
Kemudian apakah Nabi saw
melakukan ibadah-ibadah
tertentu didalam malam nisfu
sya ’ban ? terdapat riwayat
bahwa Rasulullah saw banyak
melakukan puasa didalam
bulan sya ’ban, seperti yang
diriwayatkan oleh Bukhori
Muslim dari Aisyah
berkata, ”Tidaklah aku melihat
Rasulullah saw
menyempurnakan puasa satu
bulan kecuali bulan
Ramadhan. Dan aku
menyaksikan bulan yang
paling banyak beliau saw
berpuasa (selain ramadhan,
pen) adalah sya ’ban. Beliau
saw berpuasa (selama) bulan
sya ’ban kecuali hanya sedikit
(hari saja yang beliau tidak
berpuasa, pen). ”
Adapun shalat malam maka
sessungguhnya Rasulullah saw
banyak melakukannya pada
setiap bulan. Shalat malamnya
pada pertengahan bulan sama
dengan shalat malamnya pada
malam-malam lainnya. Hal ini
diperkuat oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah
didalam Sunannya dengan
sanad yang lemah, ”Apabila
malam nisfu sya’ban maka
shalatlah di malam harinya
dan berpuasalah di siang
harinya.
Sesungguhnya Allah swt turun
hingga langit dunia pada saat
tenggelam matahari dan
mengatakan, ”Ketahuilah
wahai orang yang memohon
ampunan maka Aku telah
mengampuninya. Ketahuilah
wahai orang yang meminta
rezeki Aku berikan rezeki,
ketahuilah wahai orang yang
sedang terkena musibah maka
Aku selamatkan, ketahuilah
ini ketahuilah itu hingga terbit
fajar. ”
Syeikh ‘Athiyah Saqar
mengatakan,”Walaupun
hadits-hadits itu lemah namun
bisa dipakai dalam hal
keutamaan amal. ” Itu semua
dilakukan dengan sendiri-
sendiri dan tidak dilakukan
secara berjama ’ah (bersama-
sama).
Al Qasthalani menyebutkan
didalam kitabnya “al Mawahib
Liddiniyah” juz II hal 259
bahwa para tabi’in dari ahli
Syam, seperti Khalid bin
Ma ’dan dan Makhul
bersungguh-sungguh dengan
ibadah pada malam nisfu
sya ’ban. Manusia kemudian
mengikuti mereka dalam
mengagungkan malam itu.
Disebutkan pula bahwa yang
sampai kepada mereka adalah
berita-berita israiliyat. Tatkala
hal ini tersebar maka
terjadilah perselisihan di
masyarakat dan diantara
mereka ada yang
menerimanya.
Ada juga para ulama yang
mengingkari, yaitu para ulama
dari Hijaz, seperti Atho ’, Ibnu
Abi Malikah serta para fuqoha
Ahli Madinah sebagaimana
dinukil dari Abdurrahman bin
Zaid bin Aslam, ini adalah
pendapat para ulama Maliki
dan yang lainnya, mereka
mengatakan bahwa hal itu
adalah bid ’ah.
Kemudian al Qasthalani
mengatakan bahwa para
ulama Syam telah berselisih
tentang menghidupkan malam
itu kedalam dua pendapat.
Pertama : Dianjurkan untuk
menghidupkan malam itu
dengan berjama ’ah di masjid.
Khalid bin Ma’dan, Luqman bin
‘Amir dan yang lainnya
mengenakan pakaian
terbaiknya, menggunakan
wangi-wangian dan
menghidupkan malamnya di
masjid. Hal ini disetujui oleh
Ishaq bin Rohawaih. Dia
mengatakan bahwa
menghidupkan malam itu di
masjid dengan cara
berjama ’ah tidaklah bid’ah,
dinukil dari Harab al Karmaniy
didalam kitab Masa ’ilnya.
Kedua : Dimakruhkan
berkumpul di masjid untuk
melaksanakan shalat, berdoa
akan tetapi tidak dimakruhkan
apabila seseorang
melaksanakan shalat
sendirian, ini adalah pendapat
al Auza ’i seorang imam dan
orang faqih dari Ahli Syam.
Tidak diketahui pendapat
Imam Ahmad tentang malam
nisfu sya ’ban ini, terdapat dua
riwayat darinya tentang
anjuran melakukan shalat
pada malam itu. Dua riwayat
itu adalah tentang melakukan
shalat di dua malam hari raya.
Satu riwayat tidak
menganjurkan untuk
melakukannya dengan
berjama ’ah. Hal itu
dikarenakan tidaklah berasal
dari Nabi saw maupun para
sahabatnya. Dan satu riwayat
yang menganjurkannya
berdasarkan perbuatan
Abdurrahman bin Zaid al
Aswad dan dia dari kalangan
tabi ’in.
Demikian pula didalam
melakukan shalat dimalam
nisfu sya ’ban tidaklah sedikit
pun berasal dari Nabi saw
maupun para sahabatnya.
Perbuatan ini berasal dari
sekelompok tabi ’in khususnya
para fuqaha Ahli Syam.
(Fatawa al Azhar juz X hal 31)
Sementara itu al Hafizh ibnu
Rajab mengatakan bahwa
perkataan ini adalah aneh dan
lemah karena segala sesuatu
yang tidak berasal dari dalil-
dalil syar ’i yang menyatakan
bahwa hal itu disyariatkan
maka tidak diperbolehkan
bagi seorang muslim untuk
menceritakannya didalam
agama Allah baik dilakukan
sendirian maupun berjama ’ah,
sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan berdasarkan
keumuman sabda Rasulullah
saw, ”Barangsiapa yang
mengamalkan suatu amal
yang tidak kami perintahkan
maka ia tertolak. ” Juga dalil-
dalil lain yang menunjukkan
pelarangan bid ’ah dan
meminta agar waspada
terhadapnya.
Didalam kitab “al Mausu’ah al
Fiqhiyah” juz II hal 254
disebutkan bahwa jumhur
ulama memakruhkan
berkumpul untuk
menghidupkan malam nisfu
sya ’ban, ini adalah pendapat
para ulama Hanafi dan Maliki.
Dan mereka menegaskan
bahwa berkumpul untuk itu
adalah sautu perbuatan bid ’ah
menurut para imam yang
melarangnya, yaitu ‘Atho bin
Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara itu al Auza’i
berpendapat berkumpul di
masjid-masjid untuk
melaksanakan shalat
(menghidupkan malam nisfu
sya ’ban, pen) adalah makruh
karena menghidupkan malam
itu tidaklah berasal dari Rasul
saw dan tidak juga dilakukan
oleh seorang pun dari
sahabatnya.
Sementara itu Khalid bin
Ma ’dan dan Luqman bin ‘Amir
serta Ishaq bin Rohawaih
menganjurkan untuk
menghidupkan malam itu
dengan berjama ’ah.”
Dengan demikian
diperbolehkan bagi seorang
muslim untuk menghidupkan
malam nisfu sya ’ban dengan
berbagai bentuk ibadah
seperti shalat, berdzikir
maupun berdoa kepada Allah
swt yang dilakukan secara
sendiri-sendiri. Adapun apabila
hal itu dilakukan dengan
brjama’ah maka telah terjadi
perselisihan dikalangan para
ulama seperti penjelasan
diatas.
Hendaklah ketika seseorang
menghidupkan malam nisfu
sya ’ban dengan ibadah-ibadah
diatas tetap semata-mata
karena Allah dan tidak
melakukannya dengan cara-
cara yang tidak diperintahkan
oleh Rasul-Nya saw. Janganlah
seseorang melakukan shalat
dimalam itu dengan niat
panjang umur, bertambah
rezeki dan yang lainnya
karena hal ini tidak ada
dasarnya akan tetapi
niatkanlah semata-mata
karena Allah dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Begitu pula dengan dzikir-
dzikir dan doa-doa yang
dipanjatkan hendaklah tidak
bertentangan dengan dalil-
dalil shahih didalam aqidah
dan hukum.
Dan hendaklah setiap muslim
menyikapi permasalahan ini
dengan bijak tanpa harus
menentang atau bahkan
menyalahkan pendapat yang
lainnya karena bagaimanapun
permasalahan ini masih
diperselisihkan oleh para
ulama meskipun hanya
dilakukan oleh para tabi ’in.
Wallahu A’lam

0 komentar:

Posting Komentar

MOTEKAR-LIFE™ © 2008 Template by:
SkinCorner